Muhammad Khayat

Dinamika Kewenangan Desa pada Masa Pandemi

Cover Image for Dinamika Kewenangan Desa pada Masa Pandemi

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menjadi pandemi global telah menimbulkan korban jiwa dan berdampak pada setiap lini kehidupan, tak terkecuali Indonesia. Situasi pandemi juga berimplikasi pada kondisi sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi perekonomian negara, pandemi berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya penerimaan, hingga meningkatnya beban keuangan negara. Situasi inilah yang membuat pemerintah Indonesia berupaya menyesuaikan prioritas keuangan dan pembangunan.

Pada Mei 2020, pemerintah menetapkan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Pada Pasal 28 ayat 8 UU 2/2020 menyatakan pendapatan desa dari APBN (Dana Desa) untuk program berbasis desa tidak lagi berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran COVID-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Terbaru, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2022. Keluarnya Perpres ini telah memicu polemik. Pertama, Perpres ini keluar menjelang akhir tahun sementara desa telah menggelar Musyawarah Desa (Musdes) untuk membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) untuk tahun anggaran 2022. Kedua, pada Pasal 5 ayat 4 disebutkan tentang penentuan besaran penggunaan Dana Desa (DD): minimal 40 persen untuk bantuan langsung tunai desa; 20 persen untuk program ketahanan pangan dan hewani; minimal 8 persen untuk dukungan pendanaan penanganan COVID-19; serta program sektor prioritas lainnya.

Dilihat dari mekanisme pengelolaan keuangan desa, desa mengalami perubahan perencanaan dan penganggaran berkali-kali atas perintah/aturan supradesa. Perubahan tersebut seringkali dialami desa bertepatan dengan tenggat akhir pengesahan dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Dampaknya, banyak usulan prioritas sebagai implementasi kewenangan desa yang sudah diputuskan dalam Musdes tidak bisa diselenggarakan, bahkan dihapus dalam dokumen perencanaan dan penganggaran.

Meningkatkan Angka Kemiskinan di Desa

Tujuan utama pembangunan adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Salah satu tolok ukur keberhasilannya ialah penurunan angka kemiskinan di desa. Barno, Kepala Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo menyayangkan poin dalam Perpres 104 tahun 2021 yang menentukan batas minimal 40 persen penggunaan Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT DD). Hal tersebut, menurut Barno bisa berdampak langsung pada meningkatnyaangka kemiskinan di desa.

“Desa saya desa kecil. Kalau ditetapkan 40 persen implementasinya kami bingung. Warga hanya 446 KK (Kepala Keluarga) dan yang mendapatkan PKH (Program Keluarga Harapan) dan lain-lain sebanyak 186 KK. Kalau ditambah 40 persen artinya bertambah 220 KK, maka kemiskinan di Bringinan jadi 70 persen. saya tidak rela desa saya jadi desa miskin. Padahal cita-cita saya, mengurangi angka kemiskinan,” terang Barno dalam diskusi “Dinamika Kewenangan Desa Selama Masa Pandemi” yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Kajian untuk Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama, dan Budaya (INFEST) Yogyakarta pada 28 Desember 2021.

Hal senada juga disampaikan Sarjoko, Seretaris Jenderal Pengurus Pusat Persatuan Perangkat Desa Indonesia (Sekjend PP-PPDI) yang juga sebagai Sekretaris Desa Banjarnegara, Mertoyudan, Magelang. Sarjoko menyampaikan bahwa Perpres 104 cukup luar biasa dan angka kemiskinan di desanya akan melonjak.

“Di desa saya ada 4.000 KK, 2.700 KK mendapatkan KIS (Kartu Indonesia Sehat), bantuan sosial, dan lain-lain. Tahun anggaran ini, ada 45 yang masuk program KKS (Kartu Keluarga Sejahtera). Nanti kalau harus 40 persen minimal, ya secara otomatis tingkat kemiskinan di desa kami melonjak,” terang Sarjoko. Sementara, pemerintah desa juga akan mengalami kesulitan dalam menentukan data penerima BLT DD. Sesuai Peraturan Menteri Desa, yang berhak mendapatkan BLT DD antara lain: keluarga miskin, difabel, dan lansia.

Selain itu, menurut Sarjoko, kehadiran UU Nomor 2/2020 telah menghilangkan nyawa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). “Sejak disahkannya UU 2/2020, namanya bukan Dana Desa, tapi dana pusat yang dititipkan ke desa. Karena semua kewenangannya sudah diatur /2020,” tambah Sarjoko.

Kemunduran dalam Strategi Pemulihan Ekonomi

Menyikapi dinamika kewenangan desa sejak 2014, Agung Heri, ketua Asosiasi Perangkat Desa Indonesia (APDESI) Jawa Tengah mengungkapkan bahwa kewenangan desa semakin banyak dimutilasi. Banyak kebijakan membuat desa tak berdaya sesuai ruhnya. Fungsi Musdes menjadi mandul ketika aturan di supradesa begitu rinci. Ruang desa untuk berinovasi dengan segala bentuk dan kekhasannya tidak bisa diseragamkan. Adanya pengaturan yang terlampau rinci dan tidak sesuai dengan kondisi di desa, mengakibatkan aturan tersebut tidak operasional di desa.

Kemampuan desa untuk mengurus rumah tangganya sendiri seringkali berbenturan dengan pengaturan oleh pemerintah pusat. Padahal kewenangan desa sudah tegas diatur dalam UU Desa. Desa mempunyai kewenangan yang harus dihormati dan dihargai oleh pemerintah supradesa. Musyawarah desa menjadi ruang terpenting dalam pengambilan keputusan di level desa termasuk mengenai strategi pemulihan ekonomi ala desa.

Agung menambahkan bahwa kebijakan pusat yang terlalu mengatur desa adalah sebuah kemunduran. Sebenarnya desa bisa melakukan loncatan untuk pemulihan ekonomi yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat di desa. “Ini (aturan pemerintah) sebenarnya kemunduran. desa sebenarnya bisa melakukan loncatan untuk pemulihan ekonomi nasional,” ungkap Agung.

Indikator Kesejahteraan Skala Lokal Desa

Cerita baik muncul dari Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Untuk mengantisipasi perubahan kebijakan, Desa Tunjungtirto telah menetapkan indikator kesejahteraan skala lokal desa untuk memetakan kelompok sosial di desa. Indikator ini juga digunakan untuk menghasilkan data penerima bantuan sosial, termasuk BLT Dana Desa.

“Menyikapi 40 persen yang harus disalurkan melalui BLT, di desa Tunjungtirto sudah membuat parameter internal terkait indikator kemiskinan melalui mekanisme Musdes. Sehingga terbitnya regulasi ini tidak membuat gelisah masyarakat,” terang Hanik Dwi Martya, Kepala Desa Tunjungtirto.

Perpres 104/2021 memang cukup meresahkan di internal kepala desa karena memengaruhi perencanaan desa yang sudah melalui Musdes. Terlebih, regulasi ini disahkan pada detik-detik akhir batas waktu penyusunan perencanaan tahun yang akan datang. Sehingga desa mau tidak mau perlu menyesuaikan perencanaan dan penganggaran desa berdasar regulasi ini dalam waktu yang sangat terbatas. Desa Tunjungtirto telah menyiapkan beberapa alternatif perencanaan yang disusun bersama masyarakat saat Musdes. Hal tersebut menjadi strategi untuk menyiasati perubahan kebijakan soal desa di level pemerintah pusat.

“Sejak awal penyusunan perencanaan desa kami membuat tatanan yang ada alternatif pilihannya, ada second choice-nya. Kalau ini gagal, berarti ada plan dua, jika gagal lagi ada plan tiga, sehingga jika ada perubahan kebijakan dari pusat tidak terlalu signifikan bagi kami,” tambah Hanik.

Pil Pahit Bagi Desa

Luthfy Latief, Direktur Fasilitasi Pemanfaatan Dana Desa Kementerian Desa menanggapi beberapa pandangan dari beberapa kepala desa yang hadir. Luthfy megakui bahwa Perpres 104/2021 merupakan pilihan pahit. Pemerintah tidak bermaksud untuk menyengsarakan masyarakat. Kebijakan diambil dengan pertimbangan supaya Indonesia bisa cepat keluar dan bangkit dari dampak pandemi. Dua tahun pendemi telah membuat banyak warga desa kehilangan pekerjaan. Untuk itu, mereka wajib tercatat sebagai penerima BLT-DD.

“Yang jelas, apapun saya sangat paham, dinamika di tengah-tengah masyarakat termasuk di tengah-tengah desa kita. Ikhtiarnya regulasi ini diambil supaya kita cepat keluar dari pandemi Covid dan ekonomi kita segera bangkit,” tegas Luthfy.

Menurut Luthfy upaya pemerintah pusat dalam pemulihan ekonomi nasional dengan mendorong jaring pengaman sosial komplementer diakui oleh Georgetown University sebagai terobosan yang berhasil. Ia pun menyitir pendapat Scott Guggengheim, Professor Global Human Development, Georgetown University.

“Saat ini banyak negara yang ingin meniru BLT DD dan Indonesia tidak menyadari bahwa Indonesia adalah pelopor ide jaring pengaman sosial komplementer seperti ini. Di negara mana lagi, 2,7 juta kepala rumah tangga perempuan bisa mendapatkan bantuan tunai semasa pandemi seperti ini?, ” ujar Luthfy membacakan pendapat Scott Guggengheim.

Yando Zakaria, peneliti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), berpendapat bahwa sitiran yang disampaikan Luthfy mungkin saja benar apabila dilihat dari kacamata ekonomi makro. Namun demikian, narasi mikro dan realitas di desa tidak menunjukkan situasi tersebut. Alih-alih menguatkan desa, intervensi pemerintah justru membuyarkan inisiatif-inisiatif desa. “Ruang investasi oleh desa yang berkaitan dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) jadi buyar. Padahal, gencarnya pembentukan BUMDesa juga inisiatif yang didorong (seragam) oleh pemerintah pusat,” terang Yando.

Refleksi Menjelang 10 Tahun UU Desa

Tahun ini, UU Desa saat sudah genap berusia delapan tahun. Sepanjang perjalanan implementasi UU Desa, apakah desa sudah sepenuhnya menggunakan kewenangannya sebaik-baiknya, atau hanya terjebak pada pembelanjaan uang untuk memenuhi aspek teknokrasi pemerintahan saja. Hal tersebut menjadi pertanyaan kritis terhadap cita-cita luhur dalam perumusan UU Desa.

Yando mengajak merekonstruksi pemahaman terhadap cita-cita perjuangan masyakarat desa dalam perumusan UU Desa. Sekitar dua tahun ke depan, UU Desa akan berusia 10 tahun. Dari segi regulasi dan kebijakan, usia 10 tahun menjadi masa yang tepat untuk melihat kembali nilai kemanfaatan sebuah produk kebijakan.

Revisi mungkin sebuah keniscayaan saja dalam sebuah kebijakan legislasi. Tapi yang jadi persoalan, revisinya ke arah mana. Inti UU Desa adalah urusan kewenangan. “Ini situasi krisis. Apakah dalam sisa dua tahun ini, UU Desa akan sampai kepada cita-citanya semula. Atau karena suatu proses, kita gagal menegakkan UU Desa sebagaimana mestinya. Kemudian karena ada tangan setan di dalamnya, kita kembali ke pendulum masa lalu. Gejala ke sana bukan tidak ada,” ujar Yando.

Sejak awal, UU Desa dibentuk untuk mendamaikan ketegangan antara “negara” dan “komunitas”. Ketegangan yang terjadi selama ini, seperti krisis agraria dan ketimpanganya, sumber daya alam dan pengelolaannya, hingga krisis ekologis di desa tidak bisa dilepaskan bagaimana negara mau mengurus desa. Lebih parah lagi, krisis sosial dan politik. Undang-undang Desa bukan sekadar UU teknokratik sebagiamana penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dijalankan seperti “business as usual”, tetapi sebuah jawaban atas ketiga krisis tersebut.

Keduanya didamaikan dengan dua asas atau prinsip utama dalam UU Desa yaitu rekognisi dan subsidiaritas. Kedua asas ini belum ada sebelumnya di tata negara kita selama ini. Rekoginisi berarti beragamnya masyarakat desa-desa di Indonesia dapat bekerja dengan realitasnya masing-masing. Hal ini menjadi sebuah kemenangan bagi desa. Sebaliknya supradesa tidak begitu senang dengan rekognisi ini. Seminggu setelah disahkannya UU Desa, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) akan mengajukan Juridicial Review (JR) UU Desa. APKASI menganggap adanya rekognisi dan subsidiaritas kepada desa, merupakan bentuk “merampok” kewenangan dan kebijakan fiskal yang ada di pemerintah kabupaten. Hingga hari ini, belum ada satu pun desa adat yang ditetapkan sesuai dengan amanah UU Desa.

“Kita tidak mendengar apa yang dilakukan Kemendagri dan Kemendesa terhadap desa adat. Padahal, kita tahu desa adat sebagai sistem pengaturan hidup bersama,” ujar Yando.

Dua tahun ke depan menjadi ujian bagi desa untuk melakukan terobosan kebijakan yang beragam. Perlu menjadi perhatian sejauh mana rekognisi dan subsidiritas dihidupkan di desa. Bukan malah dipangkas atau diamputasi melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, PERPPUU, Perpres, dan atauran turunan lainnya.

Untuk mengoptimalkan UU Desa, ada empat aspek utama yang harus dipikirkan:

  1. Kewenangan
    Pentingnya ada ruang negosiasi terus menerus menyoal kewenangan desa. Kewenangan desa harus muncul dari desa, bukan dari pemerintah supradesa.
  2. Warga
    Setiap orang di desa adalah penting dan perlu dilibatkan dalam setiap obrolan pembangunan desa. Bagaimana soal partisipasi kelompok perempuan, difabel, dan minoritas lain dapat merebut atau mengisi ruang berdesa.
  3. Uang
    Dana Desa sebagai salah satu pendapatan desa adalah hak, bukan bantuan. Karena adanya kewenangan desa, maka kebijakan fiskal (keuangan) mengikuti di belakangnya untuk pelaksanaan setiap kewenangan tersebut.
  4. Ruang
    Desa harus mampu menyediakan ruang bagi siapapun masyarakat desa. Jadikan musyawarah desa sebagai reclaiming space (ruang yang direbut), siapa pun dapat berbondong-bondong menuntut suaranya didengar dalam setiap pengambilan keputusan desa. Bukan hanya diwakili orang suara masyarakat yang diundang saja (invited space).

Desa harus tetap berani membuat terobosan dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Jangan sampai Musdes ke depan justru menjadi ruang tertutup yang hanya berisi elit dan aristokrat di desa. Apa pun terobosan kebijakan pemerintah desa, jika sudah diputuskan bersama dengan mekanisme Musdes yang deliberatif, posisinya akan sangat kuat secara hukum.

**

Artikel ini merupakan hasil catatan diskusi daring “Dinamika Kewenangan Desa di masa Pandemi COVID-19” yang digelar INFEST Yogyakarta pada 28 Desember 2021.

Anda dapat melihat tayangan siaran ulang diskusi ini pada kanal Youtube melalui tautan: https://www.youtube.com/watch?v=V2CfF2y2jwc


Related Articles